Mencari Jejakmu, Ibu

 

Umurku sekarang hampir 20 tahun dan aku kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Malang. Aku mempunyai kedua orang tua yang sangat menyayangiku dan seorang adik laki-laki berumur 15 tahun yang sangat penyayang. Sebuah keluarga idaman semua anak.

Papa mama begitu perhatian pada kami berdua, tidak hanya tentang pelajaran sekolah tetapi juga mau menjadi pendengar yang baik, bahkan menjadi teman untuk kedua anaknya. Kesibukan mereka berbisnis garmen memang hampir menghabiskan waktu, tapi mama selalu bisa mengatur semuanya dengan baik.

Semua baik-baik saja hingga suatu hari seorang kerabat datang berkunjung. Namanya tante Isye, sepupu papa dari desa. Kami memang tidak terlalu sering bertemu, jadi papa mama mengajaknya menginap di rumah kami.

Sore itu, aku dan tante Isya mengobrol di teras depan rumah sambil menikmati suasana sore. “Diana sudah kerja?” tanya tante Isye. “Belum tante, masih kuliah. Sekarang semester empat,” jawabku. Tante Isye terdiam beberapa saat dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang agak sulit dikatakan. Beberapa kali tante Isye memandangku lalu akhirnya, “Diana…tidak ingin bertemu ibu?” tanyanya. “Ibu?” tanyaku heran. “Ibu kandung,” kata tante Isye lagi. “Maksud tante apa? Saya kan anak mama Maylani,” jawabku bingung. “Ehm…rupanya kamu belum tahu siapa kamu sebenarnya.” Tante Isye menghela nafas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Aku menjadi penasaran.

“Apa yang belum saya tahu tante?” tanyaku mendesaknya. Tante Isye memandangku, terdiam. “Ibu kandungmu itu ibu Rahma, kakak tante,” katanya dengan lirih. “Budhe Rahma? Yang rumahnya di Desa Donomulyo?” tebakku. Tante Isye mengangguk. “Kok bisa?” tanyaku semakin penasaran. Tante Isye menghela nafas.

“Kamu diangkat anak oleh mama Maylani dan papa Herlambang waktu kamu berusia sekitar 2 bulan. Beberapa tahun setelah menikah, mamamu mengalami masalah dengan rahimnya dan rahim harus diangkat. Pasti itu membuat mama papamu sedih, terutama mamamu. Pasti dia ingin memiliki anak, tapi kondisi itu harus terjadi. Waktu mama papamu mengunjungi keluarga kami di desa, Budhe Rahma baru melahirkan kamu. Lalu papa mamamu ingin mengambilmu sebagai anak angkat. Saat itu, kondisi ekonomi Budhe Rahma sedang tidak baik, jadi dengan banyak pertimbangan, salah satunya adalah masa depanmu, akhirnya kamu diserahkan kepada keluargamu yang sekarang,” papar tante Isye.

Aku terkulai lemas, aku tak percaya dengan cerita ini. Tapi untuk bertanya pada mama papa, aku pun tak punya keberanian. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Kalau begitu, dik Satrio?” Tante Isye memandangku, “Dia anak sepupu mamamu. Tante tidak tahu siapa namanya, hanya saja tante pernah mendengar cerita tentang adikmu.” Ada rasa sedih yang sulit dikatakan. Tak terasa aku menangis. Tante Isye memelukku, “Maafkan tante membuka cerita ini, tapi karena kamu sudah dewasa, kamu perlu tahu siapa ibu kandungmu. Selama ini Budhe Rahma kehilangan kamu, tidak bisa memelukmu, tidak bisa mencurahkan kasih sayangnya padamu. Sudah 20 tahun.” Suara tante Isye lirih, nyaris tak terdengar.

Aku tak mampu berkata apapun. Semalaman aku lebih banyak di kamar, pura-pura belajar padahal aku mencoba mengendalikan kecamuk dalam hatiku. Bingung, sedih tapi tak mampu aku bertanya pada mama papa yang sudah begitu baik merawatku 20 tahun ini. Tapi ada niat yang menyeruak di hati, aku ingin menemui ibu suatu hari nanti.

Bulan demi bulan berlalu, hari itu aku memutuskan untuk menemui ibu. Aku mengajak pacarku, Toni, untuk menemui ibu di Desa Donomulyo. Jantungku berdegup kencang ketika sampai ke sebuah rumah sederhana yang nampak asri. Rumah Budhe Rahma. Dengan ragu aku melangkah, lalu mengetuk pintu kayu itu. Tak berapa lama, pintu terbuka dan muncullah sosok wanita berumur sekitar 50 tahunan. “Mbak Diana?!” Budhe Rahma terkejut melihatku ada di depan pintu rumahnya. Beberapa waktu aku terpaku, tak mampu berkata atau bergerak. Saat Budhe Rahma mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan berurai air mata. Budhe Rahma terkejut dan heran dengan apa yang terjadi.

Setelah aku bisa mengendalikan perasaanku, barulah aku menceritakan alasanku bertemu Budhe Rahma. Beliau terkejut saat aku tahu bahwa beliau adalah ibu kandungku. Air mata tak sanggup lagi kami tahan, kami pun berpelukan. “Maafkan ibu ya nak, maafkan ibu,” hanya itu yang terucap dari bibirnya. Aku memeluknya dengan erat. Toni tak bisa menahan harunya, dia pun menitikkan air mata melihat pertemuan itu.

Pada akhirnya, ada rasa lega dalam hatiku sudah mengetahui asal usulku. Ibuku menasehati agar aku tetap menjaga komunikasi yang baik dengan mama Maylani dan papa Herlambang, tidak membuat mereka tersinggung atau sakit hati. Lebih baik tidak menceritakan kepada mereka bahwa aku sudah mengetahui asal usulku agar mereka tidak sedih. Pertemuan hari itu membawa kebahagiaan untuk ibu kandungku dan aku sendiri, dan hal itu tidak boleh melukai hati kedua orang tua yang selama 20 tahun telah merawatku dan mendidikku dengan sangat baik.

Sejak itu, aku selalu menyempatkan bertemu dengan ibu kandungku tanpa sepengetahuan mama papa. Semua itu kulakukan untuk membagi kasih sayangku pada orang tua kandungku. Tak ada kata terlambat untuk menemukanmu, ibu…. Aku bersyukur telah menemukanmu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apalah Arti Menunggu?

First Love

Toxic Friend