First Love

 

Hari itu hari pertama Nia ospek di perguruan tinggi pilihannya, ambil jurusan Sastra Inggris. Pasti dia senang, bangga, dan merasa keren jadi anak mahasiswi. Bangun super pagi dan berangkat saat mentari belum muncul di ufuk timur. Jalanan masih sepi, tapi kampus itu mulai ramai dengan kedatangan mahasiswa baru.

“Jaga diri ya nak,” kata Pak Hari pada Nia dan dibalas dengan anggukan dan salim berpamitan. Dengan langkah pasti dan penuh kebanggaan, Nia memasuki gerbang. Ayahnya menatap dengan bangga.

Jam 6.30 pagi di saat banyak orang masih menggeliat malas di atas ranjang, Nia dan para mahasiswa sudah berbaris rapi di lapangan. Para senior memberi instruksi apa saja yang akan mereka lakukan hari itu. Mereka semua terlihat galak, mereka selalu berteriak bersahutan membuat suasanya menegangkan selama ospek. Nia berusaha tetap semangat meskipun kegiatan hari itu cukup melelahkan. Ada sesi mereka mengikuti pembekalan di kelas dan ada sesi mereka harus berbaris dalam aula atau lapangan untuk dikerjai para senior.

Saat pembekalan di kelas, Nia berkenalan dengan teman-teman sekelasnya dan mereka langsung akrab. Tapi ada satu orang yang sering membuat Nia, entah sengaja atau tidak, menatapnya. Ganteng, kulit putih, senyumnya menawan, tapi lebih suka duduk di sudut ruangan. ‘Aih … siapa dia? Ganteng banget,” batinnya. Sesi pembekalan itu diisi dengan tugas berkelompok dan tiba-tiba si ganteng itu duduk persis di sebelah Nia dan jadi anggota kelompoknya. Jantungnya berdegup kencang, ‘Walah ini orang malah duduk di sebelahku. Bikin salting aja,’ batin Nia yang jadi kikuk sendiri. Setelah saling berkenalan, akhirnya Nia tahu namanya Heidy Ferdinand.

Sesi pembekalan berlanjut ke kegiatan di aula dan Nia bersebelahan dengan Widya. “Kenapa kamu dari tadi noleh ke barisan belakang?” tanya Widya. Nia tertawa. Widya mencoba mencari apa yang dilihat Nia, dia pun tertawa. “Oh kamu liatin dia?” Nia mengangguk sambil tersenyum. “Bisa aja,” canda Widya.

Tak sengaja mata mereka bertemu dan Heidy tersenyum pada Nia. Jantung Nia seakan ingin meloncat, langsung saja Nia salah tingkah namun tak lupa membalas senyuman itu dengan malu-malu.

Ospek diselenggarakan selama 3 hari dan di hari terakhir setelah acara penutupan, semua diminta menginap di kampus dan ditayangkan film Musashi disponsori The Japan Foundation. Nia sangat senang bisa menonton film Jepang ini, apalagi di momen seperti ini.

Semua orang duduk di lantai, menyimak film yang ditayangkan dalam slide. “Boleh aku duduk sini?” tanya seseorang pada Nia. Nia menoleh. Heidy? “Eh ehm … boleh,” jawabnya. Heidy pun duduk bersila di sebelah Nia. Bisa dibayangkan perasaan Nia kala itu?

Nia menyimak film yang sedang ditayangkan, tapi duduk di lantai rasanya kurang nyaman untuknya. Dia ubah posisi duduknya dengan meluruskan kakinya. Tiba-tiba Heidy agak mundur, sedikit di belakang Nia. “Nyandar aja di badanku,” bisiknya. “Hah? Apa?!” Nia kaget dengan permintaan itu. “Kamu nyandar aja sama aku kalau capek,” kata Heidy. Dengan kikuk Nia menjawab, “Eh enggak, makasih. Aku nggak apa-apa kok.”

 “Menurutmu film ini seru?” tanyanya. “Lumayan,” jawab Nia sambil tidak memalingkan pandangannya dari layar. “Menurutku, ini agak membosankan,” bisiknya lagi. Kali ini Nia menoleh, “Oya? Kenapa?” Heidy tersenyum. “Karena yang tidak membosankan ada di sebelahku,” jawabnya. “Gombal!!” jawab Nia merasa geli. Mereka menahan tawa. Malam itu menjadi malam paling berkesan bagi Nia. Orang yang membuatnya penasaran selama ospek sekarang dikenalnya dengan lebih baik. Heidy Ferdinand cowok yang periang, gampang berteman, dan menyenangkan. Nia pun merasa nyaman mengobrol dengannya selama kegiatan ospek itu.

Beberapa hari setelah ospek berlalu, kegiatan perkuliahan pun dimulai. Sayangnya, jadwal kuliah Nia berantakan. Ada yang jadwal pagi, ada jadwal sore sampai malam. Terkadang Nia memilih menunggu jam kuliah berikutnya di tempat kos Feby yang tak jauh dari kampus, dia harus menghemat biaya transportasi. Sesekali Heidy menawarkan mengantarnya pulang, alasannya supaya hemat biaya ojek. Entahlah, mengapa Nia menerimanya.

Ternyata eh ternyata, tanpa disadari, ada cowok lain yang selalu cemberut ketika Heidy dan Nia bersama. Cowok itu tak lain si ketua kelas Hasan yang ternyata menyukai Nia sejak pandang pertama. Rupanya, Hasan sudah berkali-kali berusaha mencuri perhatian Nia, tapi Nia hanya menganggapnya biasa saja. Contohnya, ketika mereka harus mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan, Hasan mencoba mendekati Nia. Dia berusaha begitu perhatian pada Nia, sayangnya Nia tidak memperhatikan hal itu. Nia malah pulang bersama Heidy dan pastinya Hasan bersungut-sungut. Tapi dia tak patah semangat, dia terus berusaha mencari perhatian Nia dan berharap bisa menjadi pacar Nia suatu hari nanti.

Setelah melewati dua bulan perkuliahan, Hasan merasa harus menyatakan perasaannya yang terpendam selama ini. Sore itu sepulang kuliah, Hasan mengajak Nia ke kafe dengan alasan mengerjakan tugas kelompok mereka. Nia, tanpa rasa curiga, menerima ajakan itu. Mereka pergi berdua ke kafe “Twenty Four Hours” tempat Hasan biasa nongkrong dengan teman-temannya.

Sambil mengerjakan tugas, Hasan memberanikan diri bertanya, “Nia, udah punya pacar?” Nia yang sedari tadi asyik mengetik di laptop terpaksa menoleh. “Ada deh,” katanya. “Heidy?” tebaknya. Nia tersenyum, “Penasaran ya?” godanya. “Ehm … aku sebenarnya suka sama kamu,” kata Hasan. Nia membelalakkan matanya, “Hah?!” “Dari awal kenal kamu, aku suka sama kamu, tapi Heidy malah deketin kamu.” Nia sambil mengetik bertanya, “Maunya apa?” Hasan menarik nafas dalam, “Mau gak jadi pacarku?” Nia menoleh lalu tertawa, “Kita berteman saja, akan lebih seru kalau jadi teman saja.” Hasan jelas kecewa tapi ya sudahlah, setidaknya dia sudah mengatakan perasaannya. Nia memang orang yang menyenangkan, barangkali benar kata Nia bahwa berteman akan lebih seru.

Kuliah semester satu pun selesai, beralih ke semester dua. Kegiatan perkuliahan masih belum begitu sibuk, tetapi materi kuliah semakin sulit. Heidy sering mengajak Nia ke perpustakaan untuk belajar bersama. Nia merasa dia satu frekuensi dengan Heidy yang selalu bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas. Itu cukup bagus untuk Nia yang kadang malas mengerjakan tugas kuliah, dia akan dipaksa Heidy untuk segera menyelesaikannya.

Siang itu di perpustakaan, tidak terlalu banyak pengunjung. Heidy dan Nia memilih duduk di sudut ruangan dengan setumpuk buku di meja mereka. “Nia, kamu tahu aku suka sama kamu?” Kalimat itu mengagetkan Nia. Sebenarnya dia sudah menduganya dari apapun yang dilakukan Heidy padanya, tapi selama lebih dari 6 bulan ini Heidy tidak mengatakan apapun tentang perasaannya. “Trus?” pancing Nia. “Kamu … mau jadi pacarku?” tanyanya. Nia terdiam sebentar. “Sebenarnya aku lebih memilih berteman, tapi okelah, kita bisa lebih akrab dari itu. Tapi aku ada syarat,” katanya. “Apa?” Nia diam beberapa lama. “Aku ingin hubungan yang diam-diam. Kita tetap seperti ini, terlihat seperti teman biasa, tapi sebenarnya kita punya hubungan pacaran. Aku lebih nyaman seperti itu, paham maksudku?” Heidy mengangguk, “Oke. Gak masalah,” jawabnya sambil tersenyum, “Apa aku perlu sedikit menjauh supaya tidak terlihat sebagai pacar kamu?” tanyanya. “Boleh,” sahut Nia. “Deal!” Mereka pun bersalaman.

Semester demi semester pun berlalu dan prestasi mereka berdua selalu mencengangkan. Mereka berdua memang pasangan yang cocok karena memiliki semangat belajar yang sama. Bagi mereka, pacaran harus mempunyai nilai positif yaitu saling mendukung dan memahami. Mereka pun wisuda bersamaan dengan predikat SANGAT MEMUASKAN.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apalah Arti Menunggu?

Toxic Friend