Berharap Tak Berpisah
Almira tahu semua ini keliru.
Dia pun tak pernah menduga pertemuan itu berakhir seperti ini. Dia pun sesungguhnya
tak menginginkannya, tapi bagaimana lagi kalau Tuhan sudah memberikan padanya,
bisakah Almira menolaknya?
Rasa cemburu menyergap
hatinya. Memang rasa yang tak menyenangkan, tapi Almira bisa apa? Rio, si
penakluk hatinya, sedang bersama gadis itu. Apa bisa Almira protes? Andai saja
dia bisa, nyatanya Almira hanya bisa pasrah dan terus menunggu kapan waktu yang
tepat untuk bersama Rio lagi.
Seminggu rasanya setahun bagi
Almira yang menahan cemburu, juga menahan kangen. Ingin rasanya menelepon atau
mengirimkan pesan pada Rio, tapi dia takut kalau gadis itu yang mengangkat atau
membalas chatnya. Ah serba salah. Almira menghempaskan tubuhnya yang terasa letih di kasur yang menjadi saksi
berapa banyak tangisan Almira selama sekian tahun ini. Pikirannya melayang,
membayangkan saat-saat indah bersama Rio dan tiba-tiba membayangkan Rio bersama
gadis itu. Tetap saja, lamunan itu berakhir dengan kecemburuan yang makin
menusuk di hati Almira.
Pagi itu, jantung Almira
terkesiap. Ada chat Rio, “Hai”. Sapaan ‘Hai’ saja sudah membuatnya girang setengah
mati. Almira melompat-lompat senang di kamarnya yang seminggu ini murung
seperti dirinya. “Hai juga, apa kabar kamu?” balasnya dengan jari gemetaran.
Terlihat notifikasi ‘typing’ dan itu membuat Almira tak sabar menunggu
jawaban apa dari Rio. “Baik, kamu apa kabar?” balas Rio. Almira dengan cepat
membalas, “Aku baik. Ehm … kamu ada waktu hari ini? Kalau kamu nggak sibuk,
ketemuan yuk di kafe biasa jam 4 sore, sepulang aku kuliah.” Kali ini
balasannya agak lama, tapi cukup melegakan Almira, “Oke, see you then.” Almira
berguling-guling di kasurnya sambil memeluk guling Avocado kesayangannya. Dia
sangat kegirangan.
Bisa dipastikan konsentrasi
Almira berantakan hari itu, tak sabar menunggu jam 4 sore, bertemu dengan si
penakluk hatinya. Dia sengaja berpakaian lebih rapi dan yang pasti wangi,
bahkan parfum kesayangannya dibawa dalam tasnya hari itu. Demi membuat pangeran
hatinya klepek-klepek dan tak menoleh ke gadis lain.
Almira ternyata sampai di kafe
lebih awal, lalu dia memesan Cappucino Coffee kesukaannya. Dia sengaja duduk di
luar supaya Rio lebih mudah menemukannya. Dari kejauhan, dilihatnya Rio
memarkir motornya. Jantung Almira semakin tak karuan, dia mencoba mengendalikan
perasaannya, bahkan pura-pura tak melihat Rio yang sedang berjalan ke arahnya.
Dia pura-pura membolak-balik buku catatan kuliahnya.
“Hai,” sapa Rio yang langsung
duduk di hadapannya. “Hai,” balas Almira pura-pura terkejut, tapi dia segera
menyunggingkan senyum paling manis, senyum yang sangat disukai Rio. “Mau
dipesankan kopi kesukaanmu?” tanyanya berbasa-basi. “Boleh,” jawab Rio. Tangan
Almira melambai pada seorang waitress dan segera memesan “coffee
latte dan french fries” kesukaan Rio.
Sore itu tak akan disia-siakan
Almira. Dia ingin bermanja-manja dengan Rio seperti biasa dan ternyata Rio pun
tak menolaknya. Setelah mereka mengobrol di kafe itu, Rio mengajaknya nonton.
Kebetulan Rio ingin menontonnya, Almira hanya ingin menemaninya saja. Mereka
pun menghabiskan hari itu bersama sampai jam 9 malam.
Malam itu, Almira
melompat-lompat kegirangan. Rasa kangen yang bersarang di hatinya selama 1
minggu telah hilang, bisa dilihatnya lagi wajah ganteng Rio, bisa dipeluknya
lagi tangan cowok itu….aaaaaahhhh….. Tiba-tiba dahinya berkerut membaca chat
Rio, “Besok pulang kuliah aku jemput ya, ada yang mau aku omongin. Tadi gak
sempat aku omongin, besok aja,” bunyi chat itu. Almira segera membalasnya, “Apa
sih?” dan segera dibalas, “Besok aja, jangan penasaran. Gih sana cepet tidur, jangan
sampai matamu yang cantik itu kayak panda,” balas Rio yang membuat Almira
tertawa sendiri.
Benar saja, sore itu Rio sudah
menunggunya di dekat gerbang kampusnya. Mereka pun pergi ke suatu tempat yang
tenang dan nyaman untuk mengobrol. Resto Visca Alasca, resto dengan berbagai
menu vegetarian milik sahabat Rio, cukup tenang dan nyaman. Rio memilih outdoor
spot agar bisa melihat indahnya kebun di bagian belakang resto itu.
“Ada apa?” tanya Almira
penasaran. Tiba-tiba Rio meraih tangan Almira dan menggenggamnya. “Kamu tahu
selama ini aku sama Dinda, sudah 2 tahunan aku bersamanya.” Ada ekspresi murung
dan sedih di wajah Rio. Jantung Almira berdegup kencang, ‘Apakah Rio akan minta
aku untuk menjauh darinya?’ Seketika, air mata ingin mengalir dari mata indah
Almira, tapi dia harus menahannya. “Trus?” Almira mencoba mengendalikan
perasaannya. Rio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, “Kami
kemarin putus.” “Hah??!!!” Almira mendelik tak percaya. Rio mengangguk sedih.
Almira segera melepaskan tangannya dan bangkit dari duduknya. Dipeluknya tubuh Rio
dari belakang, “Really sorry to hear that.” Hanya itu yang mampu keluar
dari mulutnya. “Oke … oke, aku nggak apa-apa, sini kamu duduk sini.” Rio
menarik tangan Almira agar kembali duduk di hadapannya.
“Aku nggak apa-apa, aku hanya
butuh sedikit waktu menenangkan hati supaya bisa membicarakan ini sama kamu.
Kami putus karena sering gak cocok lalu bertengkar. Beberapa hari lalu
pertengkaran yang hebat yang membuatku memutuskan untuk menghentikan hubungan
itu. Sebenarnya, sudah agak lama aku nggak nyaman dengan hubungan kami, tapi
agak sulit membuat keputusan,” jelasnya dengan nada terbata-bata. Almira
menyimaknya dan sesekali mengusap tangan Rio sebagai tanda dia bersimpati
dengan kejadian itu. Sesekali Rio menatapnya, “Aku nyaman sama kamu.” “Hah?!” Kali
ini jantung Almira berdegup lebih kencang. “Maksudmu?” tanya Almira dengan
heran. “Bolehkah aku bersamamu, menyembuhkan luka hatiku, dan berproses
mengenalmu lebih jauh?” tanya Rio. Almira tetap saja tak percaya dengan semua
itu. Dia terdiam, tak mampu menjawab. Tapi kali ini, Rio mengelus lembut
tangannya, “Aku pengen dekat kamu, boleh?” tanyanya lagi. Almira hanya bisa
mengangguk. Air mata ingin menetes tapi dia menahannya. Ekspresinya pasti tidak
bisa menyembunyikan rasa senang, tapi juga ada kebingungan di saat yang sama.
Tiba-tiba Rio mengecup keningnya dan itu seperti listrik yang menyengat seluruh
tubuh Almira.
“Ayo makan trus kita pulang.
Aku yakin kamu pengen istirahat,” kata Rio ketika waiter sudah
menyajikan makanan yang mereka pesan. Almira mengangguk. Rio pun berusaha
menguasai keadaan dengan bercerita hal-hal lucu agar Almira tertawa. Benar
saja, Almira seketika berubah ceria kembali.
Malam itu Almira sulit
memejamkan mata. ‘Semua ini seperti mimpi. Dia yang selalu ada di doaku, dia
yang membuatku selalu nyaman, sekarang benar-benar ada untukku. Aku sungguh tak
ingin berpisah darimu, Rio. Aku ingin jadi orang yang selalu membuatmu nyaman.”
Entah jam berapa Almira tertidur. Itu adalah mimpi terindahnya.
Komentar
Posting Komentar