Apalah Arti Menunggu?

 

Memori 25 tahun lalu berputar seperti sebuah video kehidupan yang membuatku menitikkan air mata. Memori aku bertemu Rudi dan merasa dialah the one yang sungguh aku inginkan dalam perjalanan hidupku.

25 tahun lalu saat aku masih kuliah di semester 5, itulah untuk pertama kalinya kami bertemu. Kami berpacaran selama 3 tahun, lalu kami pun menikah. Ternyata cinta tak cukup, pernikahan itu tak sesederhana apa yang kami pikirkan. Awal kami menikah, kami tinggal satu atap dengan kedua orang tua Rudi. Rudi yang hanya mengandalkan penghasilan sebagai pengajar privat bahasa Inggris lama kelamaan mulai mengeluhkan banyaknya pengeluaran rumah tangga. Aku pun akhirnya memberanikan diri mengikuti tes CPNS dan ternyata berhasil lolos. Sayangnya, aku harus bekerja di kota, sedangkan Rudi tetap tinggal dengan kedua orang tuanya di kabupaten.

Kami pun terpaksa berjauhan tapi setiap dua minggu sekali kami usahakan untuk saling bertemu. Aku tinggal dengan orang tua angkatku di kota untuk menghemat biaya hidup. Kehidupan kami memang tidak berubah drastis setelah aku mendapatkan pekerjaan. Kami masih harus banyak berhemat. Alasan itu pula yang membuat kami memutuskan untuk tidak segera punya anak.

Enam tahun pernikahan kami ternyata diwarnai kabar aku hamil. Pasti kami menyambutnya dengan suka cita. Namun tiba-tiba sebuah rumor menggoyahkan hubungan kami. Entah siapa yang menghembuskan gosip itu, Rudi mendapat kabar bahwa aku menjalin hubungan dengan seorang teman kerja. Saat dia menanyakan hal itu, pasti aku membantahnya. Aku mengatakan bahwa teman kerja hanyalah teman kerja, sayangnya itu menggoyahkan kepercayaan Rudi padaku. Hubungan kami mulai renggang. Dia terlihat malas menemuiku setiap kali kami ada jadwal bertemu. Aku berusaha bersabar dengan kondisi itu, apalagi aku sedang hamil.

Saat anak kami lahir, Rudi datang untuk menjagaku selama di rumah bersalin. Namun sayang, itu seperti sebuah formalitas saja karena setelah aku diperbolehkan pulang, aku memilih tinggal dengan kedua orang tua angkatku karena hampir semua urusan ada di kota. Aku masih harus memeriksakan diri pasca melahirkan, berkonsultasi dengan dokter anak, dan banyak hal lainnya. Rudi nampaknya tak mau peduli dengan semua itu, dia lebih memilih tinggal di kabupaten dan membiarkanku mengurus Amanda, bayiku, seorang diri. Meski berulangkali aku mencoba berkomunikasi dengan Rudi masalah anak, tapi Rudi tak memberikan respon sesuai harapanku. Aku pun mulai lelah dengan sikapnya itu. Aku bertekad akan membesarkan Amanda seorang diri kalau ayahnya tidak mengakuinya sebagai anak.

Ketika Amanda berumur hampir satu tahun, Rudi memutuskan bekerja di Papua yang membuka kesempatan mengajar bahasa Inggris untuk sekolah dasar. Aku tak bisa berkata-kata. Sejak Rudi pergi ke Papua, komunikasi kami nyaris terputus. Selain terkendala dengan sinyal, perasaan Rudi padaku sepertinya telah berubah. Dia pun seakan tidak bertanggung jawab untuk kehidupan Amanda. Rudi tak pernah sekalipun mengirimkan uang untuk keperluan Amanda, meski aku telah memohon berkali-kali. Akhirnya aku menyerah. Aku bekerja untuk kebutuhan hidup kami berdua dan aku melakukannya tanpa mengeluh.

Tak terasa umur Amanda sudah 15 tahun. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Aku selalu bangga padanya. Suatu hari Amanda pernah bertanya padaku tentang ayahnya, kujawab bahwa ayahnya bekerja di Papua dan entah kapan akan kembali. Amanda sama sekali tidak mengenal ayahnya karena Rudi seakan tidak ingin mengenal anaknya.

Waktu pun berlalu, hingga suatu hari seorang teman Rudi meneleponku. “Bu Imelda, kami mengabarkan kalau pak Rudi sedang dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, beliau kena stroke bu. Tetapi karena fasilitas rumah sakit kurang maksimal, sepertinya pak Rudi harus dipindahkan. Apakah ibu bisa mengurusnya?” Aku sangat terkejut dengan kabar itu, namun luka yang begitu dalam membuatku tak lagi menyimpan cinta. Aku pun menghubungi kakaknya di kabupaten dan memintanya mengurus Rudi. Beberapa hari kemudian, kakaknya berangkat ke Papua dan membawa Rudi pulang. Dia segera menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di kabupaten.

Dokter mendiagnosa Rudi mengalami kerusakan fungsi otak karena virus Toxoplasma. Entah dari mana virus itu bisa menyerang, yang terjadi kini Rudi terkulai lemas di ranjang tanpa daya. Parasit Toxoplasma telah melemahkan fungsi otaknya sehingga dia tak lagi bisa berbicara bahkan menggerakkan tubuhnya. Ini seperti sebuah bencana besar dalam keluarga Rudi.

Aku berada di persimpangan. Statusku memang masih sebagai istri Rudi meski aku disia-siakan selama pernikahan kami, bahkan dia tak mengakui buah hatinya, tapi untuk mengurusnya sebagai suami rasanya begitu berat aku lakukan. Dia telah menorehkan luka yang begitu dalam dan saat ini dia kembali dalam keadaan seperti ini.

Amanda untuk pertama kalinya bertemu ayahnya yang terkulai tak berdaya di ranjang rumah sakit dan wajah tanpa harapan. Kulihat ekspresi Amanda datar saja, tak ada ekspresi senang bertemu ayahnya atau cemas melihat kondisi ayahnya seperti itu. Datar saja. Aku tak berani bertanya bagaimana perasaannya saat bertemu ayahnya, aku hanya diam namun mengamati ekspresinya. Amanda pun tak membahas hal itu.

Hari-hari berlalu, hingga suatu hari kakaknya menelepon, “Mel, Rudi meninggal 1 jam lalu. Kami masih mengurus jenazahnya untuk dipulangkan dari rumah sakit. Bisakah kamu datang?” Aku terdiam, tenggorakku tercekat. Aku tak menjawab pertanyaan kakaknya, aku hanya menangis karena tidak tahu harus berbuat apa.

Jadi inilah akhir dari penantianku selama 15 tahun terakhir? Rudi tidak kembali padaku dan memperbaiki apa yang sudah terjadi. Dia kembali dalam keadaan sakit dan tak lama setelahnya berpulang ke Yang Maha Kuasa. Apalah arti aku menunggu selama ini? Aku mengusap air mata yang semakin deras mengalir. Lagi dan lagi aku harus kuat dengan hidup yang tak mudah ini. Setidaknya ada Amanda yang menguatkanku. Aku harus kuat berjuang untuknya hingga dia mampu mandiri dengan kehidupannya sendiri. Namun, aku tak pernah protes pada Tuhan mengapa semua ini terjadi. Pasti Tuhan telah membuat skenario terbaik untuk aku dan Amanda.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Love

Toxic Friend